Parlemen di kala demokrasi
liberal banyak di kritik, salah satunya tidak menghasilkan pemerintahan
stabil yang dapat membawa pada pencapaian cita-cita kemerdekaan seperti
yang dimimpikan itu.
Partai-partai melalui
wakil-wakilnya di parlemen hanya saling gontok-gontokan,
jatuh-menjatuhkan sehingga kabinet tidak pernah berumur panjang.
Pemerintahan silih berganti, ada yang hanya berumur tak sampai setahun.
Ketika konstituante tak dapat menyepakati soal yang paling
prinsip, yaitu soal dasar negara, dimana terjadi tarik menarik yang
kuat antara kelompok Islam dan nasionalis, beberapa kali dilakukan
voting tidak menghasilkan suara qorum, maka pada tanggl 5 Juli 1959
Sukarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945
Demokrasi terpimpin yang
diterapkan Sukarno, itu pun masih menuai kritik yang tajam dari banyak
kalangan. Walau pun Sukarno memiliki argumentasi jelas terkait
pelaksanaan demokrasi terpimpin, yaitu melanjutkan revolusi yang belum
selesai.
Di-era Suharto diterapkan
demokrasi Panca Sila, yang intinya tidak banyak berbeda dengan demokrasi
terpimpin Sukarno. Hakikatnya, Sukarno dan Suharto sama-sama
melaksanakan demokrasi terpimpin.
Sukarno dengan politik mercu suar, anti kapitalisme, imperialisme, tidak begitu longgar membuka keran modal asing, sementara Suharto membuka keran lebar-lebar terhadap modal asing.
Parlemen di-era Suharto di
kritik sebagai parlemen jadi-jadian, parlemen yang namanya saja mewakili
rakyat, tapi intinya hasil dari rekrutmen melalui pemilu yang di
dominasi tiga kekuatan aliansi yaitu militer, pengusaha dan birokrat
yang tergabung dalam Golkar yang merupakan tiang penyanggah rezim Orde
Baru.
Reformasi yang digulirkan
oleh mahasiswa dengan dukungan luas rakyat dan berbagai elemen
masyarakat telah menjungkirbalikan sistem yang dibangun oleh Suharto.
Partai-partai baru
didirikan dan yang berhasil lolos pada pemilu 1999 sebanyak 48 partai
politik . Pemilu untuk pertama kali diselenggarakan secara lebih adil,
lebih demokratis dengan sistem multi partai. Itu pun masih terus menuai
kritik tajam terkait korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota
parlemen yang menggiring banyak sekali wakil rakyat ke penjara.
Parlemen hasil pemilu 1999 dan 2004 masih saja dianggap bermasalah, sebab keterwakilan anggota parlemen tidak murni dari rakyat sebab urutan nomor satu yang selalu muncul sebagai wakil rakyat walaupun mendapatkan dukungan minimal.
MK mengabulkan gugatan
masyarakat terkait nomor urut. Yang berhak duduk menjadi anggota
parlemen pusat dan lokal adalah siapa yang mendapat suara terbanyak.
Lagi-lagi menuai kritik.
Sebelum dan sesudah pemilu banyak kritik tajam terkait putusan MK itu.
Ada kekhawatiran yang akan duduk sebagai anggota parlemen mereka yang
memiliki kwalitas SDM rendah, sebab rakyat tidak akan
memilih mereka yang berkwalitas unggul, tapi lebih mendasarkan
pilihannya pada kekerabatan, kekeluargaan dan pengaruh uang.
Saya membaca di sebuah media terkait pernyataan seorang pengamat politik, judulnya : “ ANGGOTA DEWAN TERPILIH (PADA PEMILU 2009) ADALAH PRODUK PERADABAN BERMASALAH.
Gimana ya, sudah bolak balik ganti sistem, tukar aturan, tapi tetap saja tidak sempurna, ada saja masalah. Saya bingung . (politik.kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar